Rabu, 10 Agustus 2016

Kepingan Takdir Sang IMMawati

IMMawati, pernakah engkau menanyakan realitas yang terjadi sesungguhnya didunia?
Sebab masalahnya, terkadang manusia hanya memikirkan eksistensi keberadaan dirinya hanya sebatas secara materi, hingga terkadang melalaikan substansi atas kehidupan dirinya. Apa substansi yang dimaksud itu? Substansi tersebut adalah hakikat murni alasan penciptaan manusia, yakni untuk  beribadah kepada illah, tuhannya (QS: Adh-Dhariyat : 56). Kita lebih cenderung melihat hanya dari sisi materinya saja, yakni kita diciptakan sebagai khalifah (bukan pemimpin tapi “pengganti”). Aku ingin membahas tentang sisi materi diantara pemberian materi-Nya kepada kita, Sang Pencipta telah memberikan kita batasan dan kebebasan dalam menjalankan kehidupan. Yang artinya kita tidak bisa membatasi diri kita selamanya dan berlaku bebas sesukanya.


Ada hal yang menjadi kebebasan penuh sebagai kehendak bebas dalam kita menentukan pilihan seperti pilihan kita ingin tidur atau tidak, makan atau tidak, berias atau tidak, dan masih ada banyak yang lain. Hal lain yang membuat kita tidak bisa berkehendak bebas adalah batasan-batasan yang telah ditetapkan, itu aku sebut dengan “takdir”. Aku tidak berpikir terlalu jauh untuk mendeskripsikan substansi dan esensi dari takdir, tapi yang pasti disitulah kita akan mengetahui betapa hebatnya kuasa Sang Pencipta, sebab dari penangkapan indrawi kita hanya dapat mengetahui bahwa sekenario Allah SWT adalah jalan cerita terbaik bagi kita, sebab keyakinan yang terbaik bagi kita adalah bukti keimanan kita terhadap tuhan kita. 

Hal tersebut didasari bahwa apa yang terjadi hari ini atau peristiwa yang terjadi hari ini kita tidak tahu besoknya akan terjadi seperti apa (masa depan), sebab kunci kendali (takdir) hanyalah Allah SWT yang tahu. 

Sama halnya dengan kita, aku dan kau kita berdua tidak tahu tentang misteri penciptaan, yang kita tahu hanyalah bahwa kita dilahirkan di Indonesia yang secara kebetulan sama-sama di Jawa meskipun batas tapal Kabupaten/Kota memisahkannya dan kebetulan selanjutnya menjadikan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah sebagai rumah kita. Hal tersebut adalah hal-hal yang mendasar dalam permasalahan di hidup ini, tapi seringkali seiring bertambahnya usia kita, kita menganggap hal itu sebagai hal-hal yang sepeleh yang sering banyak orang dewasa katakan sebagai alasan untuk menhindar dari permasalahan yang sebenarnya bersifat substansial. Kita menyebutnya sebagai “kodrat” tanpa memahami makna arti kodrati.

Ketahuilah sesungguhnya kodrati (takdir) itu tidak berdiri sendiri, melainkan membawa misi dan tujuan tertentu. Dan kita manusia diberi modal awal yang luar biasa berupa akal untuk memecahkan segala misteri yang hadir dalam permasalahan tersebut dan mewujudkan misi dalam sekenario-Nya. Yakinlah bahwa tidak ada hal yang kebetulan antara kelahiran, kematian, pertemuan, dan perpisahan. Sebab kodrati hidup di dunia, baik dan buruk, itu semua selalu berjalan beriringan. 

“Kita merupakan alasan atas kebahagiaan dan peringatan terhadap orang tua kita dan orang-orang disekitar kita”

Itulah yang menjadi alasan mengapa kita harus menjadi orang yang berguna. Lantas pertanyaannya untuk siapa? Hal tersebut dapat kita jawab dengan mengetahui misteri penciptaan diri kita, yakni untuk Agama, Nusa bangsa, Negara, lingkungan dan orang-orang di sekitar kita.

IMMawati, perlu kau ketahui bahwa status sebagai kaum terdidik bukanlah hanya sebatas kebanggaan sosial melainkan itu adalah kemewahan dunia yang dapat melupakanmu dari tujuan asal kau diciptakan. Usaha yang telah dilakukan para pendahulumu, senior-seniormu, bukan lantas hanya untuk dirinya atau orang didekatnya ketika itu, tapi lebih jauh lagi usaha tersebut sebenarnya untuk hari ini, yang mereka (para pendahulumu) pandang sebagai masa depan. Dunia pergerakan tidak hanya bicara tentang kemarin, sekarang, dan esok, melainkan menembus semua itu dengan kecemerlangan masa depan. Kita sebagai masa depan mereka mendapat titipan, amanah tanggungjawab menyampaikan kabar ini ke generasi selanjutnya sebagai masa depan mereka, juga sebagai masa depan kita.  

“Adakah sesuatu yang disebut dengan kesopanan alamiah? ”

Sekitar tahun 450 SM, Athena merupakan pusat kebudayaan di Yunani, bahkan dunia. Sejak masa ini, ilmu filsafat mengambil arah baru dalam peradaban manusia.  Dalam masa ini, Athena didominasi dalam “perspektif” individu dan kedudukannya dalam masyarakat. Secara lambat laun, demokrasi berkembang dengan majelis-majelis rakyat dan pengadilan hukum. Bagi para penduduk Athena, yang paling penting adalah menguasai seni berpidato, yang berarti mengatakan berbagai hal dengan cara yang meyakinkan.
“Manusia adalah ukuran dari segala sesuatu.” kata seorang Sophis Protagoras(485-410 SM), maksudnya adalah bahwa sesuatu hal itu menjadi benar atau salah, baik atau buruk, dan berbagai perbandingan lainnya, harus selalu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan kebutuhan-kebutuhan manusia. Adanya berbagai bentuk pemerintahan, baik aturan maupun hukum bisa sangat beragam di daerah dan di negara-negara lainnya. Hal ini mendorong para filosof untuk bertanya, “apakah yang alamiah beda atau sama dengan apa yang diharuskan karena desakan dari masyarakat? ”. Dengan melakukan ini, mereka merintis jalan bagi timbulnya kritik sosial di negara-negara, kota Athena.

Ungkapan alamiah yang dijelaskan oleh Socrates adalah sebuah realita yang nyata dan benar adanya seperti dalam penjelasan lewat tuturnya “Kemampuan untuk melahirkan adalah suatu ciri alamiah” yang artinya dengan cara yang sama, setiap orang dapat menangkap kebenaran-kebenaran filosofis (sejati ataupun moral) jika mereka mau menggunakan akal mereka sendiri. Menggunakan akal berarti masuk kedalam diri sendiri dan memanfaatkan apa yang ada disana.

Hal tersebut sama dengan ungkapan atas jawaban yang engkau berikan IMMawati, yakni “nalurilah yang mendorong kita untuk melakukannya,” maka Socrates dan aku sepakat menyebut itu sebagai “naluri alamiah” atau“naluri surgawi”, sebab manusia terisi dari dua unsur besar, yakni baik dan buruk.               

Socrates (470-399 SM), salah satu filosof yang hidup di masa itu, dia berbeda dari para filosof lainnya  dalam satu hal yang sangat penting, yakni dia tidak menganggap dirinya sebagai seorang “Sophis”, yaitu seseorang yang pandai dan bijaksana, tidak seperti kaum Sophis (kelompok masyarakat yang menyebut dirinya seorang filosof) yang mengajar untuk mendapatkan uang. Tidak, Socrates menyebut dirinya seorang filosof dalam pengertian yang sebenarnya dari kata itu. Kata “filosof” sesungguhnya berarti “orang-orang yang mencintai kebijaksanaan”.     

“orang yang paling bijaksana adalah orang yang mengetahui bahwa dia tidak tahu.”

Socrates sendiri berkata, “hanya satu yang aku tahu, yaitu bahwa aku tidak tahu apa-apa.” Ingat pernyataan itu, sebab itu adalah pernyataan yang langkah, bahkan dikalangan filosof. Lagipula bisa akan sangat berbahaya mengucapkan itu dimuka umum karena nyawamu menjadi taruhannya. Orang yang paling subversif adalah yang selalu bertanya. Memberi jawaban tidaklah begitu berbahaya, tapi mengajukan suatu pertanyaan dapat lebih memancing ledakan dibandingkan dengan seribu jawaban.

IMMawati, jika kamu ingat apa yang telah kita lakukan hingga saat ini dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan dalam bentuk “audiensi” ataupun “demonstrasi”, maka itu tepat sesuai, bahwa terdapat kesamaan terhadap apa yang telah kita lakukan dengan apa yang dilakukan para filosof. Bukan karena kita haus akan eksistensi, ataupun memang bertujuan untuk mengganggu hingga mendapatkan predikat subversif, ataupun yang lainnya. Akan tetapi kita berusaha mencari kebenaran “autentik” atas segala realitas yang terjadi. Keyakinan terhadap kebenaran adalah sebuah pondasi yang menegakkan tiang keadilan yang menghasilkan bangunan yang dinamakan kesejahteraan, adalah keyakinan para filosof yang kita yakini juga tentang kebenarannya. Atas hal-hal tersebut, usaha untuk mewujudkannya terus menerus kita rintis.

“Apakah Penyakit Itu Hukuman dari Tuhan? ”

Kita kembali lagi kepada para filosof Yunani. Mereka berusaha menemukan penjelasan alamiah bagi perubahan-perubahan yang terjadi di alam yang sebelumnya telah banyak dijelaskan melalui mitos. Kemajuan pemikiran serta peradaban manusia meneyebabkan mitos-mitos yang ada mulai ditinggalkan. Akan tetapi, masih ada satu racun yang mempengaruhi pemikiran masyarakat, yakni “fatalisme”. Fatalisme adalah kepercayaan bahwa apapun yang terjadi telah ditentukan. Kita temukan kepercaaan ini di seluruh dunia, bukan hanya sepanjang sejarah, melainkan juga zaman kita sekarang.

Kita sama-sama percaya bahwa tidak perlu ada konflik antara apa yang dilakukan akal dalam merasionalisasi rasa ingin tau kita dan apa yang diajarkan oleh wahyu agama atau iman kepada kita. Ajaran agama dan proses rasionalisasi sebagai jalan filsafat sering mengemukakan hal yang sama. Maka, kita dapat menyesuaikan diri dengan kebenaran-kebenaran yang sama yang dapat kita baca dalam Kitab Suci Tuhan.

Pembahasan tentang keberadaan sejumlah “kebenaran teologis alamiah” yang dimaksudkannya adalah kebenaran-kebenaran yang dapat dicapai melalui “iman”dan melalui akal, bawaan “akal alamiah”kita. Misalnya, kebenaran bahwa surga itu ada. perlu untuk diketahui bahwa jalan menuju surga itu ada. satu jalan melalui iman dan wahyu Tuhan, dan satu jalan lagi melalui akal dan indra. Dari keduanya, jalan melalui iman dan wahyu jelas merupakan jalan yang paling pasti. Sebab, orang mudah tersesat jika hanya mempercayai akal. Tapi, maksudku disini adalah bahwa akal dan iman harus berjalan selaras untuk menuju kebenaran sejati.

Dalam hal ini mungkin kau perlu berbincang lagi dengan Plato, filosof yang hidup di tahun 428-347 SM, yang tercatat sebagai orang yang “meletakkan pondasi” filsafat dalam peradaban Yunani. Dalam perjalanan filsafatnya Plato sampai pada gagasan tentang bentuk atau pola-pola yang sempurna (realitas dunia ide) dalam penglihatannya yang samar-samar. Bahwa hal tersebut sudah cukup menggerakkan jiwanya dengan suatu kerinduan untuk kembali ketempatnya yang sejati. Plato menyebut kerinduan ini eros, yang berarti cinta. Maka, jiwa mengalami “kerinduan untuk kembali kepada asal-usulnya yang sejati (Sang Pencipta)”, dan dia (Plato) mempercayainya.

Menurut Plato, tubuh manusia terdiri dari tiga bagian, yaitu kepala, dada, dan perut. Untuk setap bagian ini ada bagian jiwa yang terkait. “Akal”terletak di kepala, “kehendak”terletak di dada, dan “nafsu” terletak di perut. Masing-masing dari bagian jiwa ini memiliki cita-cita atau kebijakan.  Akal mencita-citakan “kebijaksanaan”,Kehendak mencita-citakan “keberanian”,dan nafsu harus dikekang sehingga kesopanan dapat di tegakkan. Hanya jika ketiga bagian itu berfungsi bersama sebagai suatu kesatuan sajalah, kita dapat menjadi seorang individu yang selaras atau “berbudi luhur”.

Dalam pelajaran sederhana, di sekolah seorang anak mula-mula harus belajar mengendalikan nafsu mereka, lalu ia harus mengembangkan keberanian, dan akhirnya akal akan menuntunnya untuk menuju kebijaksanaan.

IMMawati, kini kita masuk ke bagian terpentingnya, jika kamu mempercayai takdir maka percaya jugalah bahwa tidak ada yang sia-sia “semuanya ada tujuannya”. Kebenaran terhadap takdirmu merupakan alasan kebenaran penciptaanmu. Takdir memang ajaib hanya bisa dipahami dengan jiwa dan akal sejati  yakni iman dan akal yang terbimbing. Dari hal tersebut aku pikir kau mampu menebak arah kita hendak kemana, jika kau menebak tujuan hidup maka itu benar. IMMawati, ingat yang diyakini Plato, bahwa jiwa ini rindu untuk menyatu dengan “Sang Pencipta”, itu memanglah benar, hanya saja mungkinkah yang kita rindukan tersebut akan langsung dapat menerimanya ketika rencana kembalinya yang telah ditetapkan-Nya tidak dijalankan atau bahkan dipatuhi.

“Jalan takdirmu sebagai rencana-Nya mengandung banyak tugas didalmnya dan akal yang kau miliki adalah alat untuk mengetahuinya” 

“Akal hanya akan membantumu menemukannya tapi hati yang akan membimbingmu dalam melaluinya”

Hal yang aku pikirkan adalah setelah ini kau akan tau alasan keberadaanmu didunia tentang dimana, darimana dan untuk apa engkau di dunia ini?
Terimakasih atas perhatianmu. IMMawati, Bukan tidak mungkin kamu perlu membaca bab ini dua atau tiga kali sebelum kamu dapat memahami seluruhnya. Namun, pemahaman memang membutuhkan usaha. Barangkali kamu tidak akan mengagumi seseorang yang pandai dalam segala hal, jika untuk itu dia tidak perlu banyak berusaha.

Penulis :
Syarif Hidayatulloh
Ketua Bidang Hikmah PC IMM Bangkalan 2015-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar