Rabu, 10 Agustus 2016

Menjadi Minoritas yang Berkualitas

Bangkalan, sebuah kabupaten kecil yang cukup kaya akan potensi. Terletak di ujung barat Pulau Madura (pulau di sebelah utara Kota Surabaya), Bangkalan belakangan sangat popular dengan tol jembatan Suramadu yang menghubungkannya dengan Kota Surabaya melalui jalur darat yang juga merupakan jembatan terpanjang di Indonesia (±5km).
Bangkalan juga cukup popular dengan pelabuhannya (Kamal), wisata-wisata alam macam pantai siring kemuning, bukit dan tambang kapur, bahkan prestasi-prestasi yang cukup mencengangkan, pun dengan satu-satunya instansi Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang ada di Pulau Madura berwujud Universitas Trunojoyo Madura (UTM). Namun tak lebih sedikit dari itu semua, kasus-kasus kriminalitas juga santer terdengar, bahkan terkadang lebih hot daripada kabar-kabar positifnya, sebut saja maraknya pencurian, kasus begal, hingga perkara besar semacam korupsi, loyonya pemerintahan disana, pun dengan kasus yang acapkali harus menjadi taruhan nyawa (carok) yang “katanya” merupakan budaya terkait harga diri masyarakatnya. Semua hal tersebut melengkapi brand dari Kabupaten Bangkalan.

Di “tanah garam” tersebut, salah satu ormas islam terbesar di negeri ini pun berdiri disana, di Bangkalan, ialah Muhammadiyah. Ormas islam yang menekankan gerakan dakwahnya pada misi tajdid, misi pemurnian dan pembaharuan. Muhammadiyah dengan cita-citanya untuk mewujudkan masyarakat islam yang sebenar-benarnya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah dirasa sangat perlu mengembangkan sayapnya, melebarkan jangkauannya, dan menanamkan kuat ideologinya hingga mengakar dan terinternalisasikan oleh kader khususnya dan masyarakat umumnya. Tradisi cultural mayoritas masyarakatnya yang sangat kental dengan TBC (takhayul, bid’ah, churafat) yang diperangi oleh Muhammadiyah menjadikan Muhammadiyah harus berjuang lebih ekstra dalam misi dakwahnya di “Bumi Shalawat” ini.

Di kalangan masyarakat Kabupaten Bangkalan yang sangat kental dengan tradisi “nenek moyang” dan berbagai ritualistik keagamaan dengan tipikal pemikiran masyarakatnya yang cenderung keras dan “kolot” sebagian menganggap Muhammadiyah bukan hanya sebagai sebuah organisasi kemasyarakatan, bahkan lebih dari itu, bukan cuma aliran agama, bahkan beberapa kalangan menyebut Muhammadiyah sebagai sebuah “agama” baru dan tak menutup kemuungkinan terdapat stigma “sesat” terhadap Muuhammadiyah bagi beberapa orang.

Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Bangkalan hingga kini tercatat telah memiliki delapan Pimpinan Cabang Muhammadiyah (dari 18 kecamatan se-Bangkalan) terdiri dari Kamal, Labang, Socah, Burneh, Bangkalan, Kwanyar, Modung, dan Arosbaya dan ortomnya pun lengkap berdiri mulai dari IPM, IMM, NA, PM, Hizbul Wathan, Tapak Suci, hingga ibunda-ibunda ‘Aisyiyah melengkapi konstruksi Muhammadiyah di Kabupaten Bangkalan. Jika kita lihat, dakwah Muhammadiyah di Bangkalan terasa sangat kurang. 
Selanjutnya, maka perlu dipertanyakan eksistensi dan keberlangsungan hidup Muhammadiyah di Bangkalan dalam 10, 20, hingga 30 tahun mendatang, apakah Muhammadiyah masih bias berdiri kokoh di Bangkalan atau hanya tinggal nama, bahkan “naudzubillah” hanya tinggal sejarahnya. Keberlangsungan Muhammadiyah di Bangkalan sangat berkaitan erat dengan gerakannya, jika pun terus menerus stagnan tanpa adanya upaya maneuver, upaya-upaya konkret yang mampu membawa perubahan, baik dari pimpinan, ortom-ortomnya, maupun intelektual-intelektual muda Muhammadiyah, maka bukan tidak mungkin Muhammadiyah di Bangkalan akan sirna, atau hanya sebagai formalitas adanya Musyawarah Daerah (Musyda) untuk pergantian pimpinan, tapi substansial gerakannya tidak pernah benar-benar bias dirasakan.

Meminjam perkataan Arnold Toynbee bahwa perubahan dapat terjadi jika ada kelompok “minoritas kreatif”. Menurutnya harus ada sekelompok kecil manusia yang kemudian mampu berpikir diluar kebiasaan kelompok mayoritas dan mampu responsive serta menjadi problem solver terhadap problematika lingkungannya, sehingga ia akan menjadi motor, menjadi penggerak bagi kelompok-kelompok lainnya (yang mayoritas) untuk mengikuti gerakannya yang ia yakini akan membawa perubahan lebih baik. Meminjam istilah Prof. Ajad Sudrajat, kelompok ini (minoritas kreatif) mampu menyelaraskan kemampuan “akal” (otak) dan “okol” (fisik) sehingga ia akan selalu mampu menganalisa dan mempertimbangkan, memperhitungkan sesuatu dengan matang sebelum direalisasikannya lewat okolnya (kekuatan fisik).

Di era-penjajahan, pra-kemerdekaan, hingga fase-fase awal kemerdekaan misalnya, perlawanan fisik yang semula Nampak sangat dominan perlahan berubah menjadi perlawanan-perlawan non-fisik melalui strategi-strategi diplomasi, penghimpunan, dan berbagai upaya perlawanan lain yang terstruktur dan bersifat “strategis” sehingga perlahan namun pasti membawa Indonesia pada kemerdekaan. Perubahan pola perjuangan tersebut tidak lain dan tidak bukan dibawa oleh pengaruh beberapa orang, sebagian kecil manusia yang mampu berpikir matang, mengedepankan akalnya daripada “melulu” berlaku fisik. Senjata tak lagi menjadi panglima perjuangan. Golongan-golongan intelektual muda bermunculan lewat sistem bentuka pemerintah Belanda sendiri. Alumni-alumni sekolah bentukan Belanda kemudian menjadi intelektual-intelektual muda yang kritis dan mampu berpikir matang dalam tindakan perjuangannya, sebut saja tokoh-tokoh semisal Sutomo, Wahidin Sudiro Husodo, dan Cipto Mangunkusumo yang mendirikan organisasi Budi Utomo sebagai tonggak awal transformasi dari perjuangan fisik menuju perjuangan non-fisik yang lebih terstruktur dan strategis. Banyak organisasi, partai, lembaga, pers, forum-forum, dan lain sebagainya yang kemudian mendeklarasikan dirinya untuk ikut serta dalam perjuangan kemerdekaan dan tentunya sangat mendukung serta menunjang proses kemerdekaan Indonesia. Di kalangan ulama’ dan kaum-kaum pribumi pun demikian, sebut saja tokoh KH. Ahmad Dahlan dengan Muhammadiyahnya, HOS Cokroaminoto dengan Sarikat Dagang Islam, dan masih banyak lagi. Golongan intelektual kritis yang minoritas tersebut muncul di tengah ribuan penduduk pribumi yang masih berkutat dengan problematika intelektualitas (kebodohan) dan keterbelakangan. Mereka berjuang atas asas dan metodenya masing-masing, berupaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat secara hakiki dengan melepaskan diri dari praktek-praktek imperialisme dan kolonialisme Belanda kala itu.

Pada perkembangannya, kaum-kaum minoritas kreatif tersebut mampu mengubah dan menggerakkan golongan mayoritas untuk bersama berjuang untuk kemerdekaan dan mempertahankannya. Tak bisa dipungkiri hal-hal serupa banyak pula terjadi di berbagai daerah, berbagai tempat, bahkan di berbagai belahan dunia.
Kembali pada kilas perjalanan Muhammadiyah  Bangkalan di wilayah teritorialnya, bahwa keadaan minoritas seharusnya bukanlah menjadi penghambat, bukanlah menjadi penghalang yang lantas membuat kader dan seluruh elemen persyarikatan patah arang, namun sudah sepatutunya untuk mampu berpikir “liberal”, membebaskan otak dari belenggu-belenggu pemikiran mayoritas untuk mampu berpikir berbeda, menghasilkan ide dan gagasan baru, mengupayakan langkah-langkah inovatif, maneuver-manuver gerakan yang jitu dan menjadi pembeda untuk membawa Bangkalan khususnya lebih baik dan sesuai tagline Muhammadiyah sebagai Indonesia Berkemajuan.
Kini jaman telah terlampau modern, IPTEK (ilmu pengetahuan dan teknologi) semakin berkembang pesat, dan di sisi lain permasalah serta tantangan yang turut hadir menghampiri pun tak kalah kompleksnya. Pertarungan pemikiran, ide-ide dan gagasan, benturan peradaban tidak bisa dipungkiri dan terhindarkan. Terkhusus Indonesia yang merindukan munculnya para creative minority dengan harapan besar bahwa nantinya akan membawa bangsa ini pada era-keemasan, peradaban yang semakin cemerlang.

Kita tengok kembali history Muhammadiyah sendiri yang sangat layak untuk menjadi pemacu ghirah perjuangan persyarikatan (terkhusus di Bangkalan) ini. KH. Ahmad Dahlan pun juga memulainya (perjalanan dakwahnya) sebagai “minoritas kreatif”, namun perlahan melalui pendidikan dan wacana-wacana, ide serta gagasan dan aksi-aksi social beliau membesarkan Muhammadiyah hingga kini telah menjangkau seluruh daerah negeri ini, bahkan pula tersebar di beberapa Negara diluar sana. Maka kisah indah kenangan masa lalu tersebut bukan hanya menjadi oasis di tengah gurun, dalam artian bukanlah hanya menjadi fakta “penghibur” hati bahwa perjuangan Muhammadiyah sangat hebat, namun lebih dari itu harus mampu menjadi pelecut semangat, membangkitkan ghirah perjuangan untuk semakin gigih dalam mendakwahkan Muhammadiyah, membesarkan persyarikatan tercinta sebagai bagian dari hidup kita.

Muhammadiyah Bangkalan tentunya pula harus mampu untuk bersinergi dalam seluruh elemen kepemimpinannya, pun dengan seluruh elemen ortom yang telah berdiri untuk berjuang bersama dengan gigih dan menjadi kelompok minoritas yang kreatif tersebut dalam rangka menggapai tujuan Muhammadiyah. Maka sekali lagi harus ditekankan bahwa sebuah keniscayaan bahwa minoritas bukanlah sebuah kekurangan, bukanlah suatu penghalang dan hambatan yang besar dan berarti. Tapi lebih pada sebuah tantangan yang memang harus dihadapi dalam jalan dakwah, jika mampu istiqamah maka ia akan survive dan menjadi kelompok penggerak layaknya statement Toynbee (minoritas kreatif), namun jika “patah arang”, seketika itu pula ia akan musnah.

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai salah satu “anak kandung” yang memang terlahir dari Muhammadiyah harus mampu mengambil peran strategis maupun taktis sebagai kaum intelektual untuk lebih menekankan gerakannya dalam upaya-upaya suksesi dakwah Muhammadiyah. IMM yang menjadi kawah candradimuka kader-kader mahasiswa Muhammadiyah harus mampu mengejawantahkan khittah dan ghirah perjuangan Muhammadiyah hingga terinternalisasi dan mampu menjadi solusi bagi umat, bangsa, dan persyarikatan kedepan tentunya.

Cicero mengatakan hisoria magistra vitae, yaitu bahwa sejarah adalah guru kehidupan. Maka dari itu sudah sepatutnya IMM, terlebih persyarikatan mampu untuk menyikapi dan mengaktualisasikan sejarah masa lalu tersebut pada kondisi sekarang. Semoga kita semua tidak terjebak dalam indahnya perjuangan dan kenangan masa lalu, tapi lebih pada aksi evaluasi dan introspeksi untuk belajar dari sejarah, bukan hanya mempelajari sejarah.

Penulis :
Ubay Nizar Al-Banna
Ketua Bidang Organisasi PC IMM Bangkalan 2015-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar