Rabu, 10 Agustus 2016

IMM dan Realitas Sosial

Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) dengan dasar trilogi ikatannya berupa religiusitas, intelektualitas, hingga humanitasnya kini telah memasuki usia lebih dari setengah abad (52 tahun). Dalam usia tersebut, IMM sebagai organisasi perkaderan yang merupakan underbow Muhammadiyah dalam menggapai tujuannya (Muhammadiyah) sekaligus memiliki peran selain mencetak kader-kader kompeten bagi umat, bangsa, dan persyarikatan, juga harus mampu menempatkan dirinya sebagai suatu gerakan sosial, social movement.


Menarik IMM dalam social movement merupakan sebuah keniscayaan, mengingat trilogi IMM yang salah satunya juga berbicara tentang konsep humanitas. IMM sebagai social movement  memiliki bekal berupa intellectual capital maupun social capital yang kemudian diharapkan untuk mampu memainkan peran fungsinya hingga menghasilkan suatu power, kekuatan untuk mampu mendobrak kondisi sosial. IMM sebagai intellectual capital maupun social capital harus mampu mentransformasikannya dalam suatu gerakan yang nyata untuk dapat membawa perubahan dalam kondisi sosial kemasyarakatan (kearah lebih baik). Sebagai organisasi pergerakan mahasiswa IMM harus mampu selalu pro-aktif dalam menyikapi kondisi sosial maupun kebangsaan.

Dalam gagasan Antonio Gramsci terkait konsep hegemoni, ia membagi kaum intelektual pada dua jenis, yaitu kaum intelektual tradisional dan kaum intelektual organik. Dalam teorinya, Gramsci berpendapat bahwa “semua orang adalah filsuf” dengan artian setiap orang dengan aktivitas intelektualnya dapat dikategorikan pada seorang intelektual tradisional, dengan kata lain bahwa pergulatan intelektualnya masih cenderung berkutat secara teoritis, ia adalah seorang pemikir. Lain dengan tradisional, intelektual organik menurut Gramsci akan mampu menyelaraskan teori-teori tersebut dalam realitas sosial yang terjadi. Dalam teori hegemoninya tersebut ia berpendapat bahwa intelektual (organik) bukan hanya aktivitas berpikir semata, tetapi lebih dari itu, ia mencakup semua hal. Gramsci mengatakan bahwa intelektual organik sangat berperan bagi suatu negara dalam meneguhkan hegemoni.

IMM sebagai gerakan mahasiswa harus mampu memahami dan mengejawantahkan konteks, meminjam instilah Antonio Gramsci, “intelektual organik”,, untuk mampu menyelaraskan aktivitas intelektualnya dengan realitas sosial yang terjadi sehingga mampu mengambil perannya sebagai social movement dalam rangka pengentasan kaum mustadh’afin.

Merefleksikan diri dengan menilik sejarah Muhammadiyah oleh KH. Ahmad Dahlan yang dengan kapasitas intellectual capital-nya mampu melahirkan sebuah refleksi dalam gerakan berupa teologi Al-Ma’un yang hingga kini masih sangat relevan dan menjadi pijakan Muhammadiyah dalam aksinya.

Tradisi intelektual yang telah dimiliki IMM harus tetap dan semakin dikembangkan untuk kemudian mampu menuju next step sebagai intelektual organik (kata Gramsci), bukan aktivitas intelektual semata. Proses liberalisasi harus dilakukan, dalam artian liberalisasi pemikiran, melepaskan sekat-sekat, belenggu-belenggu pemikiran dari hal-hal yang bersifat materialistik, harus mampu membuka pikiran pada segala hal untuk mampu melahirkan gagasan-gagasan dalam gerakan sosial IMM.

IMM sebagai organisasi perkaderan dirasa sudah cukup kenyang berkutat dalam diri sendiri (ranah internal), maka sudahh sepatutnya pula IMM untuk mampu memulai, membuka lembaran-lembaran baru dan bergerak keluar sebagai intelektual organik, untuk mampu mentransformasikan tradisi intelektualnya dalam realitas sosial yang ada, dalam artian IMM harus mulai melangkah untuk bergerak dalam ranah eksternal. Berbekal tradisi keilmuan yang kuat IMM harus mampu melihat keadaan diluar tubuhnya, IMM harus lebih sering keluar untuk menjembatani urusan-urusan masyarakat, upaya keberpihakan terhadap kaum mustadh’afin harus benar-benar terealisasikan sebagai perwujudan nilai humanitas dalam trilogi IMM, dan tentunya masih saling berkaitan dan berdasar pada nilai religiusitas, nilai-nilai keislaman.

Sebagai sebuah organisasi gerakan mahasiswa pula yang tentunya “berisi” sekelompok mahasiswa, kalangan mahasiswa, maka mahasiswa sebagai seorang yang berada sebagai kaum intelektual, penghuni “menengah” pada struktur sosial, juga sebagai kelompok teratas dalam hierarki pendidikan, untuk mampu mengontrol kebijakan para elit negeri dan realitas kondisi sosial kemasyarakatan harus mampu mengambil perannya tersebut untuk dapat memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah negeri ini, untuk lebih berpihak pada masyarakat bawah, dalam upaya perwujudan pancasila “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Mahasiswa kini yang lebih banyak “hanya’ berperan dalam wilayah, menurut Gramsci, intelektual tradisional, harus segera terbangun dari mimpi indah sejarah masa lalu peruangan mahasiswa. Ia harus mampu berubah ke arah intelektual organik. Peran mahasiswa sebagai penekan, untuk memberikan pressure pada para penguasa negeri harus di-reaktivasi, harus diaktifkan, dilakukan, tradisi aktivitas intelektual bukan lagi hanya menjadi tradisi dan “ritual” semata, tapi benar-benar harus berinteraksi dalam realitas sosial, mahasiswa harus mampu lebih peka terhadap kondisi sosial kemasyarakatan, terlebih IMM yang berlandaskan nilai-nilai kemasyarakatan, nilai humanitas.

Maka IMM sebagai organisasi perkaderan, pergerakan mahasiswa, pun sebagai salah satu ortom kepemudaan Muhammadiyah harus mampu mempersiapkan dan membina kader-kadernya, mendidik mahasiswa-mahasiswa untuk terjun dalam lingkungannya, dalam realita sosial kemasyarakatan dan mulai bergerak keluar dari “kungkungan” problematika internalnya tanpa harus mengesampingkan ataupun bahkan meninggalkannya. IMM harus peka terhadap isu-isu sosial kemasyarakatan, terhadap realitas sosial, problematika dan tantangan sosial yang ada hingga mampu kemudian mewujudkan nilai humanitasnya dan secara continue, secara berkelanjutan mampu turut membangun peradaban yang lebih baik di negeri ini.

Nilai-nilai mendasar dalam trilogi IMM harus senantiasa menjadi pijakan arah gerak IMM untuk mampu mewujudkan organisasi yang secara nyata anggun dalam moral dan unggul dalam intelektual, serta tentunya tak melupakan interaksi sosial yang semestinya dan seharusnya terjadi sebagai sebuah organisasi gerakan mahasiswa yang menjadi jembatan pergerakan fungsi mahasiswa dan memiliki peran intellectual capital dan social capital-nya yang kemudian mampu bertransformasi melahirkan suatu social power dalam mewujudkan tatanan sosial yang “elok” serta tercapainya cita-cita negara berupa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Penulis :
Ubay Nizar Al-Banna
Ketua Bidang Organisasi PC IMM Bangkalan 2015-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar