Rabu, 10 Agustus 2016

Spirit dalam Teologi Al-Ma'un

Masyarakat Arab sudah lama mengenal dan menganut keyakinan agama. Ada empat keyakinan agama yang berkembang ketika Islam datang menurut beberapa ahli agama, yakni Yahudi, Kristen, Majusi, dan Agama Makkah sendiri (penganut politeisme atau dalam Al-Quran disebut al-Musyrikun).


Namun, keyakinan keagamaan tersebut tidak terefleksi dalam kehidupan sosial. Muhammad Abduh menggambarkan bahwa banyak orang yang hidup pada zaman Nabi, mereka percaya kepada agama, membenarkan adanya Tuhan, beriman kepada ajaran yang dibawa oleh rasul dan kepada kehidupan akhirat, namun mereka memperlihatkan sikap penindasan terhadap kaum lemah. Mereka pun merasa cukup dengan aktivitas “ritualistik” yang pelaksanaannya tidak mengurangi harta dan menguras tenaga, namun mereka justru semakin menjauh dari inti ajaran agamanya.

Al-Quran misalnya, berulang kali melontarkan kritik terhadap sikap sosial masyarakat dengan tidak adanya sense of social responsbility. Kritik Al-Quran terhadap tradisi keagamaan dan sosial-ekonomi tersebut, misalnya dapat dibaca dalam surat Al-Lahab (111) ayat 1 dan 2 yang menyinggung Abu Lahab yang berusaha memperlemah kaum muslim dengan kekuatan ekonomi yang dimilikinya. Kritik sosial ekonomi lainnya, tercantum dalam surat Al-Humazah (104) ayat  1 sampai 3 yang dengan keras mengingatkan celakanya mereka yang serakah dengan menumpuk kekayaan dan menganggap kekayaan tersebut dapat mengabadikannya. Dalam surat lain, Al-Balad (90) ayat 11 hingga 16, berbicara tentang keengganan manusia menempuh jalan mendaki, yaitu membebaskan perbudakan, memberikan bantuan kepada anak yatim dan orang miskin yang hidup dalam penderitaan dan kesengsaraan.

Masih banyak ayat-ayat Al-Qur’an yang memberikan “sindiran” sosial-ekonomi, salah satunya adalah Surat Al-Ma’un (107), ayat 1 sampai 4 yang mengajarkan keterkaitan antara iman dan amalan sosial. Ajaran yang menyimpulkan hubungan antara ide monoteisme (tauhid) dengan semangat humanisme (kemanusiaan), serta rasa keadilan sosial maupun ekonomi. Surat Al-Ma’un menegaskan kekeliruan iman dalam arti pendustaan nilai-nilai agama bila keberagamaan itu tidak terefleksi dalam komitmen dan kepeduliannya terhadap kaum yang lemah. Realitas sosial berupa penindasan dan sikap “acuh”, ketidakpedulian inilah yang menghidupkan spirit al-Ma’un dengan ide sentral tauhid dan kemanusiaan serta keadilan sosial-ekonomi. Spirit al-Ma’un telah mampu melakukan transformasi sosio-moral ekonomi masyarakat Arab melalui sosok Rasulullah Muhammad SAW.

Dalam spirit al-Ma’un tersebut, agama tidak sekedar diyakini dan dipahami sebagai simbol “bisu”. Tapi, agama yang mengambil “prakarsa” untuk mempertanyakan ketidakadilan, ketimpangan, dan kemungkaran sosial yang terjadi. Agama yang fungsional dan bekerja dalam menanamkan kesalehan transformatif. Meneguhkan kesalehan yang mencerahkan dengan terlibat dalam mewujudkan masyarakat yang beradab.

Melihat realita kaum mustadh’afin yang semakin miskin dan dimiskinkan. Rumah-rumah pinggiran yang tergusur. Pengangguran, anak-anak jalanan, gelandangan dan para pengemis yang semakin tak terhitung, pendidikan yang mahal dan anak-anak putus sekolah, bagaimana agama bekerja sebagai kritik sosial? Bagaimana agama menginspirasi gerakan perubahan untuk keadilan dan kemanusiaan? Sebuah risalah yang mempertanyakan keberagamaan kita di tengah realitas sosial yang timpang.

“Tahukah kamu orang yang mendustakan agama? Itulah orang yang melakukan sewenang-wenang terhadap anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka celakalah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya,  orang-orang yang berbuat riya  dan enggan (menolong dengan) barang berguna”

Banyak anak-anak dari kalangan “bawah” memiliki semangat belajar sangat kuat, tetapi terpaksa harus mengubur harapannya yang besar karena keterbatasan ekonomi. Tidak ada beras untuk dimasak atau tidak punya uang jajan untuk sekedar sebagai pengganti tidak sarapan. Ibarat mata air yang dituju, malah air mata yang didapatkan. Bagi mereka WAJAR (wajib belajar) 9 tahun dapat dianalogikan seperti mendaki gunung nan terjal, bukannya sampai puncak, malah banyak yang tergelincir di tengah perjalanan.
Banyak pertanyaan tentang apa yang terjadi di negeri ini? Ada apa dengan negeri ini? Negeri ini kan negeri yang kaya raya akan Sumber daya alamnya. Sumber daya manusianya pun tersebar di mana-mana. Dunia menghargai sistem demokrasinya pula. Semua itu, menjadi modal material (material capital), modal manusia (human capital), dan modal sosial (social capital) yang sangat berarti untuk pertumbuhan suatu bangsa. Tapi, entah dimana yang salah. Dalam setiap ritual tahunan, masyarakat kita tetap harus mengantri zakat fitrah atau daging qurban. Berjejalan saat penjualan sembako murah digelar. Bahkan setiap hari tidak sedikit keluarga yang hanya memperoleh makan nasi aking, ubi kayu, dan singkong. Inilah potret kemiskinan di sekitar kita, potret ketimpangan kelas sosial di negeri ini.

Kemiskinan kita tampaknya bukan semata kemiskinan biasa. Tetapi, kemiskinan yang dimiskinkan. Dalam bahasa ahli ilmu-ilmu sosial disebut kemiskinan struktural. Kemiskinan yang diciptakan oleh karena struktur sosial yang timpang. Hampir semua kalangan sepakat bahwa kemiskinan kita akibat struktur dan sistem sosial yang munkar. Karena itu, kemiskinan lebih berkait dengan masalah moralitas. Moralitas masyarakat, pemerintah dan moralitas orang kaya di antara kita yang hampir membeku. Mata hati dan kepekaannya seperti telah terkunci.

Persoalan moralitas semakin memperkuat kesenjangan sosial dan menciptakan “polarisasi” masyarakat yang tajam. Tidak adanya keadilan dan rasa keadilan dalam masyarakat kita. Politik, ekonomi, dan hukum kita masih “kacau” dan hanya berpihak kepada kaum kaya. Oleh karena itu, perbaikan masyarakat miskin ataupun yang dimiskinkan, tampaknya perlu dimulai dengan memperbaiki terlebih dahulu moralitas atau akhlak sosial bangsa kita. Moralitas yang perlu dihidupkan dalam masyarakat kita adalah moralitas sosialnya. Akhlaq, etika sosial. Kepekaan, rasa empati atas penderitaan dan mau meluangkan pikiran, serta menggerakkan tangan dan kaki kita untuk membantu dan membela mereka yang termiskinkan dan dimiskinkan. Inilah tugas bersama kita yang “maha” penting. Problematika besar kita sekarang bukan hanya perkara TBC (takhayul, bid’ah, dan churafat), tapi lebih dari itu problem besar kita hari ini adalah “bid’ah peradaban”, yakni kemiskinan dan ketidakadilan.

Kaya dan miskin memang bukanlah hal yang aneh. Ini telah menjadi hukum sosial yang bersifat universal. Di mana-mana, di seluruh penjuru dunia ada yang miskin dan ada yang kaya. Hanya yang mengherankan adalah bila banyak orang kaya, sementara orang-orang miskin semakin menderita.

Itu mungkin juga agak tidak mengherankan karena memang telah menjadi pemandangan umum. Tetapi, yang lebih mengherankan lagi adalah bila orang kaya tersebut adalah orang beragama yang percaya Tuhan dan membenarkan adanya kehidupan hari kemudian. Ini tentu sangat mengherankan, sebab bagaimana mungkin orang beragama bisa melakukan penindasan terhadap kaum lemah, misalnya dalam bentuk ketidakpekaan dan ketidakpedulian terhadap penderitaan anak-anak yatim dan orang-orang miskin, padahal itu merupakan inti ajaran agamanya. Tetapi, itulah kenyataan. Banyak orang kaya beragama, tetapi mereka tidak memiliki kepekaan dan kepedulian terhadap keberadaan kaum lemah, miskin, dan tertindas. Karena itu, sangat mengherankan di tengah puluhan ribu tangis, mereka asyik belanja di mall-mall besar, pesta-pesta, dan makan-makan menikmati hidangan mewah sambil tertawa-tawa, merasa cukup dengan kesalehannya setelah ziarah (tour) ke tanah suci dengan paket haji plus serta mengikuti training spiritual, training ma’rifat, dan pelatihan shalat khusyu’ di hotel berbintang.

Realitas masyarakat tersebut relevan dengan penggambaran surat Al-Ma’un yang seolah terasa turun kembali mempertanyakan keimanan dan keberagamaan kita. Hari ini, Al-Ma’un “mempertanyakan” tentang apa yang telah dibuat oleh tangan kita untuk si miskin yang rumahnya tergusur dan untuk si yatim yang putus sekolah. Apa yang telah diperbuat oleh tangan kita untuk si miskin yang “dilarang sehat” (ditolak berobat di RS), untuk si yatim yang kekurangan gizi., untuk si miskin yang menjerit kelaparan, untuk si yatim yang busung lapar, dan lain sebagainya.

Ada pertanyaan yang kemudian muncul bahwa kenapa jika dalam masalah akidah dan atau masalah fiqih, kita begitu perhatian dan terdepan dalam membelanya, sementara bila ada saudara kita yang dimiskinkan dan dizalimi hak-haknya, kita seolah tak berdaya dan hanya duduk berpangku tangan. Keagamaan kita menjadi diam, dan tidak membela kepentingan mereka dengan agamanya.

Allah selalu menegur kita bila hanya duduk berpangku tangan sementara di sekitarnya banyak kaum lemah yang membutuhkan. Dalam Surat An-Nisa’ ayat 75 dijelaskan untuk membantu, membela orang-orang lemah, berperang di jalan Allah SWT.

“Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah baik laki-laki, wanita-wanita maupun anak-anak yang semuanya berdo`a: “Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini yang zalim penduduknya dan berilah kami pelindung dan penolong dari sisi Enkau!  ”

Seorang sosiolog bernama Pitirim Sorokin melukiskan secara baik bagaimana arah kebudayaan (materialistik) terjadi. Menurutnya, perkembangan kebudayaan dapat digambarkan melalui tiga siklus mentalitas budaya, yaitu inderawi (sensate culture), ideasional (ideational culture), dan idealistik (idealistic culture). 
Mentalitas kebudayaan inderawi adalah perkembangan kebudayaan yang berpijak pada asumsi bahwa materi merupakan kenyataan akhir (realitas ultimet), dan fenomena spiritual hanyalah suatu perwujudan dari materi. Dalam kebudayaan inderawi, nilai etika bersifat relatif dan persepsi inderawi merupakan satu-satunya sumber pengetahuan dan kebenaran. Sedang pada siklus ideasional, ia berpijak pada asumsi bahwa kenyataan sejati berada di luar dunia materi, transendence. Kebudayaan ideasional meyakini adanya nilai etika absolut dan standar keadilan, kebenaran dan keindahan yang supra-manusiawi. Sementara pengetahuan dapat diperoleh melalui pengalaman atau persepsi batin.

Kedua model perkembangan budaya (inderawi-ideasional) ini bergerak saling memengaruhi dan menghasilkan suatu tahap kebudayaan sintesis yang merupakan perpaduan harmonis antar keduanya yang dikenal dengan kebudayaan idealistik. Kebudayaan idealistik adalah bahwa kenyataan sejati mencakup aspek inderawi dan transenden yang hadir dalam suatu kesatuan menyeluruh, yang menghasilkan keseimbangan, integrasi, dan pemenuhan estetika dalam seni, filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi. 
Lebih lanjut, Sorokin menjelaskan, bahwa ketiga model siklus kebudayaan di atas dapat dikenali dalam kebudayaan Barat. Model kebudayaan ideasional berkembang selama kebangkitan Kristen pada abad pertengahan. Pada abad ke-17, ke-18 dan ke-19, tahap kebudayaan inderawi mencapai puncak kejayaannya. Selanjutnya, pada abad ke-20 dewasa ini (mungkin sampai sekarang, awal abad 21 —pen.), diramalkan tengah mengalami krisis hebat yang disebut Sorokin sebagai masa senja kebudayaan inderawi dan menanti fajar baru kebudayaan ideasional atau idealistik. 

Sorokin mendeskripsikan krisis tersebut bahwa nilai-nilai inderawi akan menjadi semakin relatif, sampai akhirnya hancur sama sekali tanpa pengakuan universal atau kekuatan yang mengikat apa pun. Garis-garis batas antara nilai-nilai sejati dan palsu, yang benar dan yang salah, yang indah dan yang buruk, yang negatif dan yang positif, akan semakin kabur sampai akhirnya kekacauan mental, moral, estetis dan sosial merajalela. Paksaan (kasar) maupun kecurangan menjadi satu-satunya hakim atas semua nilai dan semua hubungan antar individu dan antar kelompok. Kekuasaan menjadi legitimasi dan penentu kebenaran. Sebagai akibatnya, perang, revolusi, pemberontakan, kekacauan dan kebiadaban akan merajalela. Bellum omnium contra omnes (manusia lawan manusia), kelas, bangsa, keyakinan, dan ras saling melawan dan akan memperlihatkan wajahnya. Dengan meningkatnya anarki moral, mental dan sosial serta menurunnya kreatifitas mentalitas inderawi, produksi nilai-nilai materi akan menurun, depresi menjadi lebih buruk dan standar kehidupan materi akan merosot. Dengan alasan yang sama keselamatan hidup dan pemilikan akan lenyap. Begitu pula ketenangan jiwa dan kebahagiaan. Kebosanan akan menghinggapi semakin banyak anggota penduduk. Penduduk akan terbagi ke dalam dua tipe; kelompok hedonis inderawi dengan mottonya “makan, minum, dan cinta karena besok akan mati”, dan kelompok asketik  yang pandai menahan nafsu dan acuh tak acuh namun bertentangan dengan nilai inderawi. Gambaran Pitirim Sorokin seolah kini telah “terealisasi” menjadi krisis global yang terjadi hampir di seluruh belahan dunia, termasuk di Indonesia. 

Maka dengan berbagai problematika sosial-ekonomi dan kemasyarakatan yang tengah terjadi, nilai-nilai teologi Al-Ma’un sudah sepatutnya (karena masih dan bahkan sangat relevan) untuk diinternalisasikan pada setiap insan. Internalisasi dalam artian pemahaman dan pengaplikasian, sehingga ia merupakan representatif dari pengejawantahan nilai-nilai Al-Ma’un. Surat Al-Ma’un meskipun terdiri dari “hanya” tujuh ayat, namun merupakan sebuah kritikan keras terhadap konteks keberagamaan dan konteks sosial-ekonomi setiap muslim. Bagaimana tidak, ia menjelaskan pula bahwa seorang yang “sholat” pun akan masuk neraka, maka perlu bagi kita sekalian untuk kemudian menjaga dan melakukan refleksi diri terhadap keyakinan beragama kita, pemahaman agama kita, implementasi nilai-nilai keagamaan kita. Lebih dari itu, nilai-nilai sosial-ekonomi dan kemasyarakatan juga harus balance, harus seimbang dan selaras beriringan berjalan sebagai bentuk internalisasi nilai-nilai agaman dalam diri, bukan hanya nilai agama sebagai ritualistik semata, hanya untuk “gugur kewajiban.”

Selain nilai teologi Al-Ma’un sebagai spirit untuk dakwah sosial-ekonomi dan kemasyarakatan, pun sebagai “cambukan” akan moralitas masyarakat, moralitas bangsa ini. Dekadensi moral yang terjadi dan sangat jauh menyimpang dari nilai-nilai islam (sebagai seorang muslim) perlu untuk segera dibenahi, moralitas dalam berbagai hal, moralitas sosial, moralitas dalam perekonomian, dalam politik, hukum, dan lain sebagainya. Manalah mungkin perubahan (lebih baik) akan terjadi jika moralnya tidak baik, internalisasi nilai Al-Ma’un pun tidak akan pernah terjadi tanpa moralitas yang siap dan baik.

Penulis :
Ubay Nizar Al-Banna
Ketua Bidang Organisasi PC IMM Bangkalan 2015-2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar