Sabtu, 23 April 2016

Wanita dan Gerakannya (Refleksi Kartini)

Tanggal 21 April di setiap tahunnya, Indonesia selalu gegap gempita dalam nuansa Hari Kartini, satu-satunya hari besar yang dinamai dengan nama seseorang. Ya, Raden Ajeng Kartini merupakan salah satu tokoh pahlawan nasional, yang tenar dengan perjuangannya dalam emansipasi wanita dan curhatan-curhatannya yang tertuang kemudian dalam buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”.

Banyak sesuatu yang kemudian dilakukan guna menyambut dan memeringati momen ini dari berbagai kalangan, baik instansi, lembaga, organisasi, bahkan hingga mengatasnamakan perorangan. Misalnya melakukan pembagian bunga-bunga mawar yang disertai dengan note dengan tulisan-tulisan motivasi dan refleksi, ada pula yang membuat seminar, lomba, dan berbagai bentuk kegiatan lainnya semata untuk memeringati Hari Kartini.
Ketika kita tengok sejarah, sejatinya masih banyak pejuang-pejuang wanita lain dengan perjuangannya yang tidak kalah hebat, bahkan lebih heroik dari Kartini. Kita intip buku sejarah di SD atau SMP akan menemukan sosok Cut Nyak Dien, Tjoet Nyak Mutia, dan Martha Christina yang berjuang dan ikut berperang angkat senjata dalam pergolakannya dengan Belanda. Ada pula Dewi Sartika yang perjuangannya juga tak kalah hebat dengan Kartini.
Kita coba tengok sejarah lain, ada nama Siti Walidah yang berjuang dengan gigih dengan mendirikan organisasi sopo tresno(cikal bakal Aisyiyah), beliau juga turut aktif dalam mendukung dan mendampingi sang suami (KH. Ahmad Dahlan) berjuang melawan tirani penjajahan. Ya, Siti Walidah atau yang lebih dikenal masyarakat dengan nama Nyai Ahmad Dahlan adalah istri dari founding father Muhammadiyah, KH. Ahmad Dahlan.
Dilahirkan di Kauman, Yogyakarta tahun 1872, Siti Walidah merupakan putri KH. Muhammad Fadli, penghulu keraton kala itu. Masa kecilnya digunakan untuk menuntut dan memperdalam ilmu agama dan seolah dahaga akan religiusitas tersebut terpenuhi dan terpuaskan kala menikah dengan KH. Ahmad Dahlan. Beliau dengan gigih kemudian mendukung dan mendampingi sang suami dalam berdakwah dan menggerakkan Muhammadiyah.
Sebagai seorang wanita, beliau tak sama dengan wanita-wanita kala itu. Beliau bukan hanya berperan sebagai ibu rumah tangga, namun juga aktif dalam beroraganisasi, berdakwah, dan seringkali turut serta berdiskusi dan mengkaji problema-problema bangsa bersama para tokoh seperti Jenderal Sudirman, Bung Karno, KH. Mas Mansur, Bung Tomo, dan lain sebagainya.
Tahun 1914, beliau merintis sopo tresno yang aktif memberikan pendidikan keilmuan dan kajian dakwah bagi wanita. Sopo tresnokemudian berubah nama menjadi Aisyiyah atas saran beberapa tokoh Muhammadiyah kala itu. Nama Aisyiyah diresmikan sebagai organisasi wanita Muhammadiyah pada 19 Mei 1917. Aisyiyah ketika itu diketuai oleh Siti Bariyah dan Nyai Dahlan duduk sebagai penasihat dan pelindung.
Perjuangan Nyai Dahlan saat itu, yakni menghilangkan kepercayaan kolot yang dimiliki masyarakat Indonesia. Ajarannya, perempuan seharusnya dapat berjuang bersama dan duduk dalam posisi berdampingan, baik dalam institusi formal maupun dalam pendidikan. Dia tidak hanya berdakwah, tetapi juga mengajari kaum perempuan dengan membuka asrama dan sekolah-sekolah putri serta kursus pemberantasan buta huruf bagi perempuan.
Perjuangan Siti Walidah mengembangkan organisasi (Aisyiyah) tidaklah mudah, bahkan acapkali ditentang oleh beberapa kelompok konservatif. Sekolah Aisyiyah banyak terpengaruh oleh pemikiran KH. Ahmad Dahlan dengan catur pusatnya, yang memaksudkan pendidikan di rumah, pendidikan di sekolah, pendidikan di masyarakat, dan pendidikan di tempat ibadah.
Tahun 1926 ketika Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya, Nyai Dahlan mencatatkan dirinya dalam sejarah sebagai wanita pertama pemimpin kongres. Beliau memimpin persidangan sementara disisi-sisinya duduk banyak pria. Mereka semua adalah wakil pemerintah dan perwakilan organisasi. Seluruh pembicara dalam sidang tersebut merupakan kaum perempuan, hal yangtabu kala itu. Aksinya (sebagai pemimpin sidang) kala itu menjadi headline di berbagai media massa. Impact yang ditimbulkan, akhirnya syi’ar Aisyiyah sampai ke seluruh nusantara.
Pada masa revolusi kemerdekaan, Aisyiyah sempat dilarang oleh Pemerintah Jepang saat itu. Namun, perjuangan Nyai Ahmad Dahlan beralih kepada pelayanan pejuang kemedekaan. Ia juga menyerukan kepada para siswa Muhammadiyah untuk bangkit melawan penjajah. Siti Walidah wafat pada 1946 dengan usia 74 tahun dan dimakamkan di pemakaman belakang Masjid Besar Kauman, Yogyakarta. Menteri Sekretaris Negara Mr AG Pringgodigdo dan menteri Agama Rasjidi mewakili pemerintah memberikan penghormatan terakhir saat pemakamannya. Nyai Ahmad Dahlan mendapat anugerah Pahlawan Nasional oleh Presiden Soeharto sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971.
Menilik dari ketokohan RA. Kartini dan Siti Walidah, sejatinya pergerakan mereka dalam memperjuangkan harkat dan martabat kaum wanita tidaklah jauh berbeda. Yang perlu kita gali, pelajari, dan implementasikan kini adalah esensi-esensi dari pergerakan mereka berdua untuk kemudian turut menyebarkan syi’ar dakwah islam, syi’ar dakwah muhammadiyah.
Realita yang terjadi saat ini adalah bahwa kaum wanita (yang dulu diperjuangkan Kartini dan Nyai Dahlan) acapkali tidak memaknai perjuangan mereka. Yang dilakukan hanyalah menunggu momen Hari Kartini kemudian membuat suatu acara, setelah itu kembali lagi seperti biasa, cenderung hedonis dan acuh dalam menyikapi problema-problema sosial. Maka, sudah sepatutnya kita melalui momen Kartini ini dapat benar-benar memunculkan dan mengubah wajah bangsa ini menjadi lebih baik lagi, bukan hanya menyambut dan memperingatinya sebagai simbolis-simbolis dan formalitas-formalitas semata.

Penulis :
Ubay Nizar Al-Banna
Ketua Bidang Organisasi PC IMM Bangkalan 2015/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar