Sabtu, 30 April 2016

IMM dan Hegemoni Neoliberalisme

Neoliberalisme yang sejatinya merupakan praktek pelaksanaan kapitalisme dengan bertumpu pada liberalisasi, privatisasi, dan deregulasi dengan mekanisme pasar atau perdagangan bebasnya. Neoliberalisme memanglah suatu hal baru yang muncul ke permukaan dengan harapan dapat memperbaiki dan menggantikan sistem-sistem lama. Neoliberalisme yang merupakan produk aliran filsafat liberalisme dengan filosofi ekonomi-politiknya untuk mengurangi bahkan meniadakan atau menolak campur tangan negara (pemerintah) dan menjadi genealogi paham liberalisme.


Istilah neoliberalisme sebenarnya jauh-jauh hari telah ‘berkenalan’ dengan Indonesia tatkala Muhammad Hatta mengenalkannya melalui bukunya ‘Ekonomi Terpimpin’ (1959). Sejatinya aliran ini telah muncul sekitar abad 17 yang dibawa oleh Thomas Hobbes dan John Locke dan berkembang cukup pesat di abad 18.

Neoliberalisme, dalam prakteknya sangat berkaitan erat dengan Negara-negara besar (adidaya) serta lembaga-lembaga perekonomian dunia. Sebut saja IMF (International Monetary Fund) yang terbentuk kala PBB masih berusia ‘seumur jagung’ (pasca PD II dan bubarnya LBB), atau contoh lain GATT (General Agreement of Tarrifs and Trade) yang kemudian bertransformasi menjadi WTO (World Trade Organization), ada pula International Bank of Reconstruction and Development (IBRD) atau lebih dikenal dengan nama ‘keren’ World Bank. Lembaga-lembaga tersebut sangat berperan besar dan berpengaruh dalam perkembangan neoliberalisme hingga kini terasa nyata dominasi dan hegemoni neoliberalisme.

“Pandangan hidup dan pola pikir yang dominan, adanya suatu konsep tentang kenyataan yang kemudian disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun personal, ideology mendikte seluruhnya, cita rasa, moral, prinsip religiusitas, politik, serta segala hubungan social, terkhusus pada intelektual dan moralitas.”

Kurang lebih demikianlah kutipan pandangan Antonio Gramsci dalam konsep hegemoni bahwa hegemoni merupakan bentuk dominasi (kekuasaan) terhadap nilai-nilai sehingga menjadi doktrin bagi pihak-pihak lain yang kemudian secara sadar bagi pihak yang terdominasi merasa bahwa hal tersebut (penindasan) memang selayaknya terjadi.

Hegemoni kaum-kaum penganut neoliberalisme terhadap Negara ‘dunia ketiga’ saat ini nampak nyata terjadi dengan berbagai doktrin politiknya. IMF, World Bank, dan WTO pun menjadi alat demi tercapainya hegemoni tersebut dengan berbagai dalih. Globalisasi dan pasar bebas contohnya, merupakan isu yang santer dibahas dan dijadikan alasan terjadinya liberalisasi aset kenegaraan, privatisasi aset oleh pihak-pihak pemodal (bahkan asing), hingga deregulasi peraturan-peraturan untuk ‘memuluskan’ langkahnya.

Melihat realita yang demikian, maka apa yang kemudian harus dilakukan oleh para mahasiswa yang ‘konon’ merupakan insan akademis, kaum intelektual, sebagai agen perubahan sosial. IMM yang hadir hingga kini berusia genap 52 tahun dirasa perlu untuk mendobrak hegemoni tersebut dan memunculkan gerakan-gerakan baru guna merubah ‘wajah’ dunia, terkhusus Indonesia yang teramat ‘seram’ dengan dominasi-dominasi asing dan Negara-negara adidaya di berbagai sektornya.

Agenda reposisi gerakan kemahasiswaan, terutama IMM selayaknya bahkan wajib hukumnya untuk dijadikan prioritas. Pentingnya kajian kembali tentang arah dan ruang gerak IMM sebagai organisasi otonom Muhammadiyah di tataran mahasiswa untuk kemudian dapat merumuskan konsepsi-konsepsi dalam penyikapan terhadap kebijakan pemerintah untuk lebih meminimalisir pengaruh-pengaruh pihak luar (asing) yang dirasa banyak merugikan dan menindas rakyat.

Konsep trisakti yang dicetuskan Bung Karno berupa kedaulatan politik, berdikari secara ekonomi, dan berkepribadian dalam sosial-budaya dirasa masih cukup layak untuk diimplementasikan kini. Nasionalisasi aset-aset potensial Negara dirasa menjadi hal yang perlu jadi prioritas dalam membangun Indonesia. Dalam kancah perpolitikan dan perekonomian, pemerintah perlu kiranya membangun sikap dan berpikir cerdik untuk tidak lagi terjatuh pada lubang yang sama, untuk tidak lagi terhegemoni oleh negara-negara adidaya. Secara sosial-budaya, penyebaran agenda globalisasi dan pasar bebas tampak telah menemui ‘titik terang’ dengan masuknya berbagai paham, aliran, kepercayaan, dan budaya-budaya asing tanpa filterasi yang baik entah oleh pemerintah maupun rakyat.

Selain itu, perlunya peningkatan kapasitas dan kualitas SDM di Indonesia dirasa juga patut menjadi prioritas, baik secara moral, keilmuan, dsb untuk kemudian mampu bersaing baik secara personal maupun kenegaraan.

Penulis :
Ubay Nizar Al-Banna
Ketua Bidang Organisasi PC IMM Bangkalan 2015/2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar